Pemertaan pendidikan di Indonesia hanya tinggal diatas kertas
diantara tumpukan buku panduan pasal-pasal milik pakar hukum yang tengah sibuk
berkeluh-kesah dengan ketidakadilan hukum yang merupakan imbas dari dinamika
politik yang dimainkan oleh para elit politik. Segaris pasal yang telah
terlupakan oleh para pemangku kekuasaan negara adalah tentang jaminan
pendidikan, yakni pasal usang yang terdapat pada Undang-undang Dasar tahun 1945
tepatnya pasal 31 ayat 1,2,3,4 dan 5 tahun 1945 yang menjelaskan tentang
pendidikan. Walaupun pasal tersebut sudah mengalami beberapa kali amandamen
namun wujud implementasinya belum tampak karena masih terselip diatas meja
kerja para pembuat kebijakan.
Pendidikan
yang merata sudah jelas menjadi tugas dan tanggung jawab negara dan departemen
terkait ,sebab negara telah berani menjamin anggaran untuk keberlangsungan
proses pendidikan. Negara memberikan anggaran sekurang-kurangnya 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) serta dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk
memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Namun, tetap saja
kebijakan hanya sebatas diatas kertas, bukti nyata tetap saja masyarakat
harapkan untuk menghilangkan rasa haus akan pendidikan serta dalam menghadapi
himpitan dan persaingan ekonomi yang mulai menggerahkan.
Harus kita
sadari sangat tidak bijak jika kita hanya membebankan permasalahan ini kepada
negara, sebab ‘negara’ tidak bisa berbuat apa-apa karena ‘negara’ hanyalah
simbol kedaulatan. Negara baru bisa diartikan sebagai badan atau lembaga yang
memiliki kewenagan ketika terdapat aktor-aktor yang menjadi mesin penggerak
kewenangan negara itu sendiri, yang kita kenal dengan sebutan pemerintah.
Betapa pelik permasalahan pendidikan
yang tengah Indonesia hadapi saat ini, tetapi walaupun demikian semoga tidak
mengurangi semangat dan tekad anak bangsa untuk memperoleh pendidikan secara
merata dan berkesinambungan. Terkait permasalahan ini penulis akan mencoba
memaparkan beberapa analisis mengenai wajah pendidikan Indonesia terkait
pemerataan pendidikan.
Pertama, Otonomi Daerah ( otoda )
menjadi penghambat pemertaan pendidikan. Dari dahulu sampai sekarang pendidikan
di Indonesia masih terkesan berjalan secara parsial dan terpisah-pisah tanpa
ada kordinasi yang bijak dari pemerintah atau departemen terkait. Salah satu yang
menyebabkan pendidikan di Indonesia ini berjalan secara sendiri-sendiri adalah
otonomi daerah. Daerah yang otonom memiliki kewenangan dan kebijikan tersendiri
dalam mengupayakan pembangunan pendidikan. Otonomi daerah juga berimplikasi
kepada munculnya ego tersendiri bagi daerah-daerah yang pada akhirnya juga
berdampak bagi keberlangsungan pendidikan yang tidak merata ditiap-tiap daerah.
Kedua, ideologi pendidikan merupakan
hal yang fundamental terhadap proses
pemerataan. Sungguh Utopis rasanya jika kita menginginkan pemertaan pendidikan
di Indonesia melalui rancangan sistem pendidikan gratis, sebab sistem
pendidikan di Indonesia sudah terlanjur terjerumus kedalam mahzab
neoliberalisme yang berprinsip meminimalkan peran dan tanggung jawab negara
dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan. Kemudian dari pada itu berkembangnya
anggapan bahwa untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas tidak mungkin
dengan biaya yang murah apalagi gratis.
Ketiga, beberapa permasalahan
pendidikan yang termajinalkan. Harus kita sadari bersama-sama bahwa begitu
banyak permasalahan yang tengah bangsa dan negara kita hadapi, mulai dari
permasalahan politik,ekonomi,hukum, sampai kepada permasalahan rancangan dan
implementasi kebijakan. Namun sangat disayangkan sekali pemerintah dan rakyat
hanya berkutat kepada permasalahan-permasalahan fisik yang sedemikian sehingga
permasalahan yang lainnya terkucilkan, seperti permasalahan pembangunan sektor
jiwa dan mental atau dalam bahasa polpulernya kita kenal dengan pendidikan karakter.