Sabtu, 19 Januari 2013

Pendidikan : Menjangkau Yang Tidak Terjangkau ( Bagian 1 )



Pemertaan pendidikan di Indonesia hanya tinggal diatas kertas diantara tumpukan buku panduan pasal-pasal milik pakar hukum yang tengah sibuk berkeluh-kesah dengan ketidakadilan hukum yang merupakan imbas dari dinamika politik yang dimainkan oleh para elit politik. Segaris pasal yang telah terlupakan oleh para pemangku kekuasaan negara adalah tentang jaminan pendidikan, yakni pasal usang yang terdapat pada Undang-undang Dasar tahun 1945 tepatnya pasal 31 ayat 1,2,3,4 dan 5 tahun 1945 yang menjelaskan tentang pendidikan. Walaupun pasal tersebut sudah mengalami beberapa kali amandamen namun wujud implementasinya belum tampak karena masih terselip diatas meja kerja para pembuat kebijakan.
            Pendidikan yang merata sudah jelas menjadi tugas dan tanggung jawab negara dan departemen terkait ,sebab negara telah berani menjamin anggaran untuk keberlangsungan proses pendidikan. Negara memberikan anggaran sekurang-kurangnya 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Namun, tetap saja kebijakan hanya sebatas diatas kertas, bukti nyata tetap saja masyarakat harapkan untuk menghilangkan rasa haus akan pendidikan serta dalam menghadapi himpitan dan persaingan ekonomi yang mulai menggerahkan.
            Harus kita sadari sangat tidak bijak jika kita hanya membebankan permasalahan ini kepada negara, sebab ‘negara’ tidak bisa berbuat apa-apa karena ‘negara’ hanyalah simbol kedaulatan. Negara baru bisa diartikan sebagai badan atau lembaga yang memiliki kewenagan ketika terdapat aktor-aktor yang menjadi mesin penggerak kewenangan negara itu sendiri, yang kita kenal dengan sebutan pemerintah.
            Betapa pelik permasalahan pendidikan yang tengah Indonesia hadapi saat ini, tetapi walaupun demikian semoga tidak mengurangi semangat dan tekad anak bangsa untuk memperoleh pendidikan secara merata dan berkesinambungan. Terkait permasalahan ini penulis akan mencoba memaparkan beberapa analisis mengenai wajah pendidikan Indonesia terkait pemerataan pendidikan.
Pertama, Otonomi Daerah ( otoda ) menjadi penghambat pemertaan pendidikan. Dari dahulu sampai sekarang pendidikan di Indonesia masih terkesan berjalan secara parsial dan terpisah-pisah tanpa ada kordinasi yang bijak dari pemerintah atau departemen terkait. Salah satu yang menyebabkan pendidikan di Indonesia ini berjalan secara sendiri-sendiri adalah otonomi daerah. Daerah yang otonom memiliki kewenangan dan kebijikan tersendiri dalam mengupayakan pembangunan pendidikan. Otonomi daerah juga berimplikasi kepada munculnya ego tersendiri bagi daerah-daerah yang pada akhirnya juga berdampak bagi keberlangsungan pendidikan yang tidak merata ditiap-tiap daerah.
            Kedua, ideologi pendidikan merupakan hal yang fundamental terhadap proses pemerataan. Sungguh Utopis rasanya jika kita menginginkan pemertaan pendidikan di Indonesia melalui rancangan sistem pendidikan gratis, sebab sistem pendidikan di Indonesia sudah terlanjur terjerumus kedalam mahzab neoliberalisme yang berprinsip meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan. Kemudian dari pada itu berkembangnya anggapan bahwa untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas tidak mungkin dengan biaya yang murah apalagi gratis.
            Ketiga, beberapa permasalahan pendidikan yang termajinalkan. Harus kita sadari bersama-sama bahwa begitu banyak permasalahan yang tengah bangsa dan negara kita hadapi, mulai dari permasalahan politik,ekonomi,hukum, sampai kepada permasalahan rancangan dan implementasi kebijakan. Namun sangat disayangkan sekali pemerintah dan rakyat hanya berkutat kepada permasalahan-permasalahan fisik yang sedemikian sehingga permasalahan yang lainnya terkucilkan, seperti permasalahan pembangunan sektor jiwa dan mental atau dalam bahasa polpulernya kita kenal dengan  pendidikan karakter.